Densus Anti-Korupsi Polri Bisa Jadi Ajang Perseteruan ?

Rencana Polri membentuk Detasemen Khusus (Densus) tindak pidana korupsi dikhawatirkan akan menjadi ajang baru perseteruan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata pengamat. "Jangan sampai pembentukannya (Densus anti tipikor korupsi Polri) menjadi gontok-gontokan dengan KPK," kata Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (PSAK), Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, Jumat (13/10).

Zainal mengkhawatirkan hal itu karena belum melihat kejelasan tentang bentuk, mekanisme, tata cara kerja serta koordinasinya dengan lembaga penegak lainnya yaitu KPK dan Kejaksaan. "Bagaimana model pengerjaan perkaranya, apa kewenangannya, itu belum ada," katanya kepada wartawan.

Karena itulah, dia mengharapkan pembentukan Densus tipikor Polri itu direncanakan secara matang yang -antara lain- ditandai adanya cetak biru (blue print) kelembagaan yang jelas.Dengan adanya kejelasan seperti itu, kemungkinan terjadinya perseteruan baru antara Polri dengan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi, tidak akan terjadi, tambahnya

"Semoga lembaga yang mau dibentuk ini tidak merusak ritme pemberantasan korupsi yang sekarang cukup berjalan baik. Alih-alih mau memberbaiki, jangan-jangan malah merusak," tegasnya.

Jangan dianggap kompetitor KPK

Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Kamis (12/10), Kapolri Jenderal Tito Karnavian kembali menegaskan tentang keseriusannya membentuk Densus Tipikor di bawah lembaga kepolisian. "Kami juga menunggu waktu presiden untuk memaparkan rencana tersebut," kata Tito di hadapan anggota DPR.

Tito Karnavian mengaku telah berkoordinasi dengan kementerian terkait tentang jumlah personel yang akan direkrut serta total anggaran sekitar Rp 2,692 triliun yang dibutuhkan untuk membentuk lembaga baru itu.

Tujuan pembentukan densus tipikor itu, lanjutnya, bukan untuk menandingi KPK, melainkan membantunya. "Jangan dianggap kompetitor (KPK) lah," tegasnya. "Saya berpendapat dengan adanya densus ini, teman-teman KPK bisa fokus ke masalah yang besar, sedangkan densus bisa fokus kepada wilayah-wilayah, sampai ke desa," jelas Kapolri.

Menurut Tito, jumlah pegawai KPK yang hanya sekitar 1.000 butuh bantuan dalam menangani perkara korupsi yang cukup banyak jumlahnya. Rencananya Polri juga akan menempatkan 3.560 personelnya untuk menjadi anggota densus tersebut, katanya. "Jadi (Densus Tipikor) lebih masif penindakannya, kolaborasi semua pihak termasuk kejaksaan".

Densus Tipikor Polri akan ditempatkan dalam bentuk satuan tugas di 33 kepolisian daerah (polda) dan satgas akan dibagi menjadi tiga tipe, yaitu A, B dan C.

Tetapi Zainal Arifin Mochtar mempertanyakan pernyataan Kapolri tentang pembagian kerjasama lembaga baru itu dengan KPK dengan berdasarkan besar-kecilnya kasus korupsi yang ditangani. "Tidak mudah memilah kasus besar dan kecil. Orang terlalu menyederhanakan. Apa yang dimaksud kasus kecil dan besar? Kalau dilihat kasus besar dan kecil dilihat jumlah uangnya, itu keliru," kata Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (PSAK), Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini.

"Karena kasus yang melibatkan, misalnya, Ketua DPD itu (jumlahnya) cuma Rp100 juta, tapi itu (melibatkan) Ketua DPD," tambahnya. Zainal mengakui jumlah personel Polri yang besar dan merata hingga di daerah-daerah bisa saja disebut sebagai keunggulan mereka dalam upaya pemberantasan korupsi. "Tapi di lain sisi ada pertanyaan bagaimana dengan masih tingginya (dugaan) koruptifnya pengerjaan perkara di kepolisian," kata Zainal.

Apa komentar Jaksa Agung?

Di hadapan Komisi III DPR, Kapolri Tito Karnavian menyampaikan tawaran kepada Kejaksaan Agung untuk bergabung ke dalam Densus Tipikor.
Tito mengungkapkan tujuan polisi dan jaksa digabungkan dalam 'satu atap' supaya ada koordinasi yang baik dalam menangani perkara antara penyidik dan penuntut umum seperti dilakukan KPK selama ini. "Kelebihan di KPK, koordinasi langsung tanpa mengurangi kewenangan kejaksaan," ungkap Tito. Menurutnya, sistem seperti itu membuat berkas perkara tidak bolak balik antara Kepolisian-Kejaksaan seperti yang terjadi selama ini.

Secara terpisah, Jaksa Agung M Prasetyo mengatakan pihaknya tidak ada keinginan bergabung dalam Densus Tipikor, karena dianggap sebagai saingan KPK. "Menghindari ada anggapan nanti ini dianggap saingan KPK," kata Prasetyo, saat rapat dengan Komisi III DPR, Rabu (11/10).

Apalagi, lanjutnya, belum ada dasar hukum penyatuan Polri dan Kejaksaan dalam sebuah lembaga untuk memberantas korupsi. Karena itulah, Kejaksaan memilih tetap berpegang pada aturan hukum yang sudah ada, KUHAP, yang menyebutkan Kejaksaan menerima hasil penyelidikan dan penyidikan dari Polri untuk diproses lebih lanjut.

"Kalau kenyataannya undang-undang seperti itu ya kita laksanakan. Hanya single procecutor itu universal. Saya rasa di negara lain pun juga begitu. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Jaksa Agung dinyatakan sebagai penuntut tertinggi," kata Prasetyo.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan mendukung rencana pembentukan Detasemen khusus tindak pidana korupsi Polri. "KPK mendukung soal Densus Tipikor itu. Mudah-mudahan dengan makin banyak yang menangani, bahwa korupsi di Indonesia itu akan menjadi lebih tertangani dengan baik," kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif kepada wartawan di Jakarta, Jumat (13/10).

Syarif juga sependapat dengan Kapolri tentang pembagian kerjasama KPK dan Polri dalam menangani perkara-perkara korupsi, karena memang sudah diatur dalam UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Menurutnya, KPK menangani perkara yang melibatkan penyelenggara negara dan jumlah dugaan korupsinya di atas satu miliar Rupiah. Dari kenyataan inilah, lanjutnya, ada perkara korupsi yang diserahkan ke kepolisian.

"Jadi kalau yang kecil-kecil itu, walaupun kita banyak infonya, biasanya kami serahkan ke Polri. Mudah-mudahan dengan Densus ini, khususnya yang masif di mana-mana, yang kecil-kecil itu bisa tertangani dengan baik," harapnya. (Sumber : BBC Indonesia)